Ramadhan Tanpa Bapak
Karya: Jihan Sausan Salsabila
Diikutsertakan
dalam Lomba
Menulis Unexpected Ramadhan 2
Bau menyengat itu menggelitik hidungku,
membuyarkan lamunanku seketika. Ah, gosong lagi, pikirku. Aku seperti remaja
yang baru saja bisa memasak. Akhir-akhir ini, pikiranku seperti dibekukan oleh
lamunan-lamunan. Ketika pikiranku kosong saja barang sedetik, lamunan-lamunan
itu langsung menyergap pikiranku dan bersarang di sana. Lamunan tentang objek
yang sama, Bapak.
Langkah
kaki terdengar menuruni anak tangga. Aku menoleh dan tersenyum mendapati anak
bungsuku jalan terhuyung-huyung karena kantuk. Lalu, ia tiba di sampingku dan
menatapku dengan mata kantuknya yang masih menutup.
“Selamat
pagi,” sapaku sambil mengecup pipinya gemas.
“Huah
ini masih gelap, Ma. Kita sahur apa, Ma?”
“Sayur
capcay, ikan bakar, ayam goreng, tapi, ayamnya gosong. Maaf ya,” dengan cekatan
aku menyiapkan hidangan di atas meja. Bima, putra bungsuku, mengikuti dari
belakang.
“Bima
mau cuci muka deh terus bangunin Papa.”
“Bangunin
Kak Kyla juga ya, Nak.”
“Siap,
Ma.” ujarnya seraya menirukan tingkah anak buah yang hormat pada atasannya.
Aku
tertawa kecil melihat tingkah putraku. Keluarga kecilku, bahagiaku, hidupku
nyaris sempurna. Aku sangat bersyukur memiliki mereka di sisiku, terlebih pada
saat-saat tersulit. Teringat sosok penting yang juga menjadi sumber
kebahagiaanku, aku mengambil handphone dan menekan beberapa tombol angka yang
sudah kuhafal di luar kepala. Aku menanti dengan sabar sampai telepon itu
diangkat. Lalu, rinduku membuncah saat mendengar suara di ujung sana.
“Assalamualaikum.”
“Waalaikumsalam
Ibu. Ibu udah sahur?”
Aku
rindu Ibu. Wanita kuat yang kini harus hidup seorang diri selepas kepergian
Bapak dua minggu yang lalu. Sudah kutawarkan untuk tinggal di sini bersamaku.
Namun, Ibu menolak dengan dalih ingin tinggal di rumah Ibu dan Ayah supaya bisa
mengenang sosok mendiang dengan baik.
Kepergian
Bapak yang cepat dan mendadak tepat seminggu sebelum bulan Ramadhan lalu,
membuat bulan suci tahun ini terasa sepi. Aku dan Ibu, dua wanita yang
sama-sama ditinggalkan oleh sosok hebat seperti Bapak, hanya bisa saling menjaga
dan menguatkan.
***
Siang
itu mungkin matahari sedang bagus suasana hatinya, sehingga ia menyinari bumi
dengan amat terik. Peluh menetes di pelipisku, membuat kerudung yang kugunakan
sedikit basah pada tepi atasnya. Sosok yang kutunggu belum juga menampakkan
dirinya. Bukan, bukan juga, bukan juga, dan itu dia! Bima berlari kecil ke
arahku, menghambur ke dalam pelukanku kemudian kami masuk ke dalam mobil.
“Gimana
tadi sekolahnya sayang?”
“HHHHHH
haus banget, Ma,” keluhnya.
“Hahaha
sabar.. namanya juga puasa, harus sabar. Kalo sebulan puasa Bima full nanti
dikasih hadiah deh sama mama papa.”
Aku
hanya tersenyum geli melihat Bima bersorak riang. Tidak apa-apa, untuk seorang
anak berumur 7 tahun mungkin masih berat berpuasa full sambil beraktivitas.
Jadi, pantas jika kita beri hadiah nantinya supaya ia semangat berpuasa.
Aku
tiba-tiba terlempar pada masa lalu. Saat umurku kala itu baru menginjak 6 tahun
dan mendapatkan uang dari bapak karena puasaku full. Waktu itu, aku sangat
senang menerimanya. Aku menjadi semakin bersemangat untuk berpuasa tiap
bulannya. Pesan bapak sewaktu aku kecil masih terekam dengan jelas dalam
memoriku. Boleh senang dapat hadiah, tapi
puasa harus karena Allah. Hadiah ini anggap sebagai bonus aja ya, ujarnya
dulu. Oh, Bapak, betapa sosokmu amat kurindukan. Laki-laki pertama yang
kusayangi, sosok bijaksana dengan petuah-petuahnya yang kuhormati. Andai Bapak
tahu, seberapa besar inginku untuk bersama Bapak saat ini, detik ini.
Kurasakan
hangat pada pipiku. Lalu, sebuah tangan menghapus air mataku, lembut. “Bima
juga kangen sama Kakek, tapi Mama nggak boleh nangis. Ada Bima di sini.”
Tangisku
semakin berderai. Tangis pilu yang bercampur rindu, rindu akan sosok Bapak.
Namun juga bahagia, bahagia karena dikelilingi oleh orang-orang yang
menyayangiku.
***
Jalanan
lancar dan tak begitu ramai membuat kami sebentar lagi mencapai tujuan. Aku
membangunkan Kyla dan Bima yang tertidur pulas di kursi tengah. Perjalanan
Jakarta-Bandung memang tidak akan memakan waktu yang sangat lama jika tidak
macet.
Aku
sengaja tidak memberitahu Ibu kalau kami sedang menuju ke rumahnya. Kejutan,
pikirku. Aku sudah tidak sabar bertemu Ibu. Kekhawatiran menyelimutiku tiap
kali teringat Ibu menjalani hari-hari puasa sendiri.
Sebentar
lagi sampai.. dan aku semakin tak sabar.
Lalu,
kulihat rumah itu dari kejauhan. Rumah yang kini sepi. Namun, masih terasa
hangat di ingatanku. Rumah tempat Ibu dan Bapak menghabiskan masa tua mereka.
Rumah yang menjadi saksi kepergian Bapak, bahwa benar janji mereka dahulu,
hanya maut yang mampu memisahkan. Rumah yang sangat dipenuhi cinta.
“Ah,
nggak sabar ketemu Nenek,” ucap Kyla, putriku, dengan bersemangat.
“Assalamualaikum
nenek.” Bima dan Kyla berujar bersamaan.
“Waalaikumsalam..”
Wajah
itu. Wajah sumringan namun masih tersisa sendu. Wajah yang menampung sejuta
rindu.
Kupeluk Ibu dengan erat
hingga tangis kami tumpah ruah menjadi satu. Kami, wanita yang sama-sama merasa
amat kehilangan ditinggal Bapak dan saling menguatkan satu sama lain. Akan
kuhabiskan Ramadhanku disini, di rumah yang sangat kental dengan sosok Bapak di
tiap sudutnya bersama Ibu dan keluarga kecilku. Bapak, tersenyumkah engkau
melihat kami semua? Kami, orang-orang yang amat kau sayangi dan menyayangimu
berkumpul bersama di rumah kecil kita dulu. Bahkan aku bisa merasakan kehadiran
Bapak di sini. Aku bisa merasakan kehangatannya karena sejatinya hanya sosoknya
yang tiada, namun cinta dan kasihnya takkan pernah reda.
SELESAI
Komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar :)