Anugerah Terindah di Januari
Karya: Granger
Diikutsertakan dalam lomba menulis songfiction: Kisah di Bulan Januari
“My life is a
beuty”-Taeyeon ‘I’-
Bau tanah setelah hujan menyatu dengan alam. Hijau padang rumput
memanjakan mata Safira yang lelah dengan pemandangan kota. Awan berarak
perlahan seakan berkata bahwa segalanya baik-baik saja. Semilir angin meniupnya
damai. Namun, kedamaian itu tak sampai di hatinya yang gundah gulana. Safira merebahkan
badan di atas rumput pendek nan lembut. Ia pejamkan mata sesaat, sesekali
menghela nafas dalam-dalam.
“Aku lelah,” gumamnya. Ia pandangi langit pagi. Langit telah
menumpahkan hujan deras di malam tahun baru. Itu adalah berkah. Safira berdoa untuk
kebaikan tahun ini sekaligus lepas dari belenggu-belenggu pada dirinya.

Liburan telah usai, saatnya kembali ke rutinitas penat. Lalu lintas
Jakarta macet seperti biasa. Bunyi klakson, sumpah serapah masih bertebaran di
jalan, “tahun baru Jakarta gini-gini aja. Gak ada yang berubah,”
gerutunya dalam hati. Ia menyetir dengan hati-hati karena khawatir motor
menyerobot dan mengenai mobilnya.
Ia pun sampai di tempat kerja dengan semangat minim. Safira
memarkir mobilnya dengan posisi sempurna. Lalu ia bergegas turun dan memasuki
Cafe untuk bekerja paruh waktu. Walaupun minim semangat, ia tak pernah datang
terlambat. Gadis berusia 19 tahun itu selalu menyelesaikan tugasnya dengan baik
sebagai pelayan Cafe.
“Silahkan, ini pesanannya,” ia menghampiri pelanggan dengan
tersenyum, “Coffee Latte, roti bakar, dan susu hangat,” ia memastikan pesanan
yang dibawa sudah tepat. Kemudian ia meninggalkan meja pelanggan menuju tangga
dekat dapur.
Di tangga ia terus menunduk lemas dan tak menikmati pekerjaannya.
Kedua tangannya menopang dagu. Bibirnya maju 5 cm.
“Tingkat kebosananku semakin meningkat saja, apa yang harus
kulakukan?” batinnya,“berhenti saja! Senior selalu memarahimu. Padahal
kamu telah bekerja dengan benar. Jika kamu berhenti, kamu bisa merancang
kembali mimpi-mimpimu,”
Tetapi otaknya berkata lain, “tahan dulu, Saf. Jangan ambil
langkah gegabah,” Perang yang tak diinginkan Safira. Keadaan paling sulit
jika hati dan otak tak sinkron. Ia menggaruk kepalanya yang tak gatal, lalu
bangkit untuk bekerja kembali.
“Safira, kebetulan, nih. Antarkan pesanan ke meja pojok sana, ya!”
ujar Nisa, seniornya.
“Kenapa gak kamu saja? Kamu kan sudah mau
mengantarkan tadi?” Telunjuknya mengarah ke nampan yang telah diangkat Nisa.
“Gue capek,” ujarnya ketus. Nisa menyodorkan nampan dengan
kasar. Hampir saja pesanan jatuh. Nisa pun bergegas pergi dengan menghentakkan
sedikit kakinya, sementara Safira hanya menggelengkan kepala. Ia harus terima
nasib sebagai junior di Cafe. Ia melihat ke jendela sesaat, lalu tertegun bahwa
ia melihat seseorang yang mirip dirinya sedang jalan-jalan santai di seberang
Cafe.

Taman Kencana sore itu ramai pengunjung. Riuh canda tawa anak-anak
mengisi ruang terbuka hijau. Ibu-ibu yang menjaga mereka sibuk merumpi dan
tertawa terkekeh. Di sekitar taman terdapat banyak tempat hidangan. Safira
akhirnya menemukan bangku kosong setelah lari keliling taman selama 30 menit.
Ia duduk lalu menegak air putih dingin hingga sisa seperempat. Kesegaran
membasahi kerongkongannya yang kering. Lalu ada seseorang meminta izin untuk
duduk di sebelahnya.
“Di sini kosong tidak? Kalo
iya aku duduk sini, ya?” sahutnya kepada Safira.
“Eh, iya silahkan,” ia tersentak melihat seseorang yang ia lihat
tempo hari di seberang Cafe. Bahkan setelah melihat dengan dekat, orang itu
seperti refleksi dirinya. Tetapi ekspresinya ceria, ramah, dan teduh. Ia
terlihat sangat menikmati hidup. Safira perhatikan gerak-geriknya dan sama
persis dengan dirinya!
Gadis rambut bob itu menarik buku dari ranselnya. Kemudian ia mulai
menulis. Tangannya lihai dalam merangkai kata. Safira hendak menyapanya, namun
ia urungkan niat. Safira malah mengerahkan inderanya untuk mengumpulkan
inspirasi tulisan.
“Pengunjung di taman begitu bahagia, tetapi kenapa aku selalu
merasa jenuh dan terbelenggu?” Safira bergumam pelan. Ia yakin hanya diri sendiri
yang bisa mendengar ucapannya tadi. Hingga
akhirnya orang di sampingnya menyapa.
“Hai,
Safira,” ucap sang gadis dengan nada ramah yang menyebabkan Safira kikuk dan
salah tingkah.
“Hai
juga,hehe” balas Safira sambil terkekeh, “hmm, boleh aku tau kamu siapa? Kamu
mirip sekali dengan__” ucapannya
dipotong oleh gadis ramah.
“Aku adalah refleksimu. Kamu
yang semangat, ceria, dan ramah. Selalu menikmati hidup dan bersyukur. Dulu kamu
tidak malu menjadi diri sendiri dan selalu mengembangkan potensi diri,” Safira
memasang ekspresi bingung dengan mulut sedikit menganga. Ia yakin tidak sedang
berhalusinasi. Safira memandang refleksinya lekat-lekat. Memori otak sibuk
mencari arsip sejarah hidupnya.
“Januari bulan yang indah, ya. Kamu sekarang ibarat ulat yang
selalu diremehkan. Tapi ingat, ada saatnya kamu menjadi kupu-kupu. Hidupmu indah.
Jadi, jangan biarkan orang lain menghalangi mimpi-mimpimu!” Safira tertegun. Di
saat itu pula otak dan hati menemukan sesuatu di luar dugaannya. Ia tersenyum
lebar kepada refleksinya, “terima kasih, kini aku tahu apa yang harus aku
lakukan,”

Safira berdiri di depan kantor bos tempat ia bekerja. Ia menggigit
tepi bibirnya untuk mengurangi rasa gugup. Telapak tangannya berkeringat dan berkali-kali
ia mencengkeram ujung bawah seragam. Ia mantapkan diri dengan mengetuk pelan
pintu kantor. Ia masuk setelah diizinkan.
Tanpa mengeluarkan satu patah kata, Safira menyodorkan surat
pengunduran diri. Bos menarik surat dengan perlahan. Kemudian dia membaca
dengan cepat. Selesai membaca, bos menganggukkan sedikit kepalanya sebagai
tanda perizinan Safira boleh berbicara.
“Saya ingin mengundurkan diri karena saya merasa tidak cocok dengan
tempat ini. Akibatnya, saya mengalami demotivasi kerja. Saya juga ingin
mengejar mimpi, yaitu berwirausaha dan menjadi penulis,” Safira mengatur nada
bicaranya agar tidak bergetar gugup.
Bos memandangnya teduh. Kemudian menundukkan sedikit kepala, lalu
berdeham kecil, “baiklah jika ini yang anda mau. Melihat kinerja bagus anda
selama ini, maka saya doakan anda sukses,”
selesai berbicara panjang lebar, Safira memohon pamit.
“Terima kasih atas nasihat, doa, dan bimbingan anda. Saya undur
diri,” ia membungkukkan badannya 90 derajat. Lalu beranjak pergi dari kantor.
Usai dari kantor, Nisa tiba-tiba menghadangnya di tangga dapur. Jantung
Safira seakan mau copot. Seniornya membuka mulut dan bernada sinis.
“Kenapa mundur? Lu pikir bakalan berhasil dengan usaha lu?
Hasil karya tulisan lu juga murahan!” lalu Nisa menutup mulut dengan
kedua tangannya, “Ups, maaf gue tadi menguping,” Ia memasang muka
tanpa dosa.
Safira berusaha untuk tetap tenang. Ia tatap tajam senior di
hadapannya. Lalu ia maju perlahan, sementara Nisa mundur. Ia menyeringai, “urus
dirimu sendiri! Asal kamu tahu kalau kinerja kamu payah, parasit!” ia menunjuk
senior dengan tegas. Alhasil, senior mundur sambil membelalakkan mata. Lalu ia
lempar celemek miliknya ke arah senior dan segera mengambil kunci mobil.

“BEBAAAAS, YUHUUU!” Safira berteriak kegilaan sambil menyetir mobil.
“LEGAAAAA!” ia juga menyalakan musik dengan volume kencang. Ia ingin pergi ke
padang rumput untuk menikmati sensasi udara segar.
Sesampai di
tempat, ia tak berhenti menatap langit biru sambil tersenyum lebar. Matanya
berbinar karena antusiasme. Pada saat itu datang kupu-kupu sayap totol ungu di
atas bahunya. Lalu ia pergi ke selokan air jernih tak jauh dari tempat ia
duduk. Gadis 19 tahun itu memandang refleksi dirinya dari air jernih.
“Aku masih tak paham dengan kejadian di taman kemarin sore. Tapi
yang jelas adalah aku sudah kembali dan aku senang” ujarnya dengan ekspresi
seperti anak kecil yang dibelikan balon, “ini anugerah terindah untuk diriku
sendiri yang lahir di Januari,”
Komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar :)