Pulang…
Diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen Unexpected Ramadhan 2015
“Kau pulang kan Nak
tahun ini?” Dengan suara lirih, wanita tua itu mengucapkan melalui telepon
seluler.
“Lihat saja nanti
Bu. Akan ku usahakan.” Ucapku.

Akhirnya, Ramadan
tiba. Senang sekali bisa berjumpa
kembali dengan bulan penuh pahala ini. Sesekali iklan di televisi, surat kabar,
dan media sosial─menyambut Ramadan dengan penuh sukacita. Terlihat dari sebuah
iklan di televisi, yang setiap tahunnya di identikan dengan sebuah
sirup─pastilah, jika sebuah iklan sirup itu muncul, semua orang menulis di
media sosial. “Iklan Sirup udah keluar nih, berarti sebentar lagi Puasa.”
Malam, membentangkan
jubah hitamnya untuk menutupi muka bumi ini dengan kegelapan. Bintang, yang
menjadi sumber cahaya saat di malam hari. Semua stasiun televisi menyiarkan
secara langsung kapan tepatnya Ramadan tiba. Berdebat antar golongan untuk tahu
siapa yang paling benar perhitungannya. Kolot, tetapi tidak adu jotos. Karena
bagi mereka, ini untuk kepentingan bersama.
Setelah 3 jam
berlangsung, palu di ketukan. Menetapkan Ramadan tiba esok hari. Semua umat
muslim berbondong-bondong pergi untuk melaksanakan ibadah tarawih pukul 9
malam. Bergumam dalam hatiku “Semoga tahun ini, aku bisa kembali pulang.”
Bersalam-salaman antar umat, bermaaf-maafan, agar ibadah pada tahun ini
mendapat kelancaran.
Dini hari, terdengar
suara keras dari luar pintu kamarku. Aku kira seorang wanita tua yang
menelpon-ku pagi tadi. Ternyata hanya sebuah iring-iringan warga menggunakan
alat seadanya untuk membangunkan para warga. Membuka mata dan melihat sebuah
pesan di telepon seluler yang berdering pelan. Aku bahagia, mengira ibuku akan
mengirimi pesan untuk mengucapkan selamat sahur untuk puasa di hari pertama.
Sialnya, bukan dia. Melainkan sebuah operator telepon yang mengirimi pesan
bonus dan hadiah. Inginku, mengirimi pesan kepada ibuku. Tetapi, egoku berkata
lain. “Untuk apa mengirim pesan terlebih dahulu? Biar saja dia yang mengirim
dahulu.”
****
Beberapa hari
Ramadan telah terlewati. Teman kerjaku berbondong-bondong memesan tiket untuk
sebuah perjalanan pulang ke kampung halamannya. Aku tidak, menghabiskan biaya
saja pikirku. Egoku muncul lagi “Kalau memang Ibuku rindu denganku. Mengapa,
tidak dia saja yang datang
menghampiriku? Lagipula kalau aku pulang ke rumah, pasti uang yang sudah ku
kumpulkan dari hasil kerjaku akan habis
begitu saja.”
10 hari menuju puncak kemenangan, ibuku belum
juga menelepon dan mengirimiku pesan.
Seperti orang yang buta arah akan ke mana ia mempunyai tujuan. Di satu
sisi, aku sangat merindukannya. Karena sudah 5 tahun aku tidak pulang ke rumah.
Sedangkan sisi ke egoisanku berkata lain. Sangat tidak ingin pulang ke rumah.
Karena hanya menghabiskan uang saja. Pikirku itu godaan Setan, tetapi
sebenarnya itu bukanlah godaan dari makhluk astral. Melainkan hanya rasa malu,
egois, dan penyesalanku saja. Penyesalan karena Ayahku, tidak bisa melihat
kesuksesanku sekarang ini. Malu, karena sampai saat ini, aku belum mempunyai
seorang pendamping hidup. Dan egoku inilah yang sangat tinggi, sampai-sampai
kebencian terdapat di dalamnya.
Siang hari, akhirnya
tempat kerjaku tutup untuk beberapa saat. Karena banyak pegawainya yang hendak
berpulang ke kampung. Aku merasa iri, karena mereka sangat bahagia ketika
ditelepon oleh orang tuanya.
Sore hari, aku
berniat membeli persediaan makanan di sebuah mini market. Antriannya ramai
sekali sampai dibagi menjadi 4. Aku bertanya kepada wanita di depanku. “Ini
antriannya ramai sekali ya Mbak. Mereka mau beli apa ya?” kataku. Dan wanita
itu menoleh “Lho, piye toh mas? Iki loh, sedang ngantri beli tiket kereta untuk
mulih.” Dengan dialek Jawa wanita itu menjawab. Aku jadi teringat akan Ibuku.
Dia memintaku untuk pulang. Setelah beberapa menit, giliranku pun tiba untuk
membayar barang-barangku.
“Mbak, tiket kereta
ke Surabaya masih ada?” tanyaku
“Untuk tanggal
berapa Mas, kalau untuk H-2 sebelum lebaran masih ada nih. Tapi yang sisa cuma
kelas bisnis. Berangkatnya malem. Harganya juga lebih mahal, gimana?” Balasnya.
“Yasudah Mbak, satu
ya.”
Malam hari, sebelum
keberangkatan, pukul 10 malam. Aku masih belum tahu akan berkata apa di saat
bertemu Ibuku nanti. Keretaku tiba, aku berangkat meninggalkan kota ini.
Perkiraan-ku, aku sampai di Surabaya tepat sore hari nanti. Sepanjang
perjalanan, terlihat semua wajah bahagia dari semua penumpang kereta ini.
“Mudik yo Mas? Weeh, kangen pasti iki karo Ibune?” Kata Pria di sampingku. “Iya
Mas, sudah 5 tahun aku tidak pulang ke rumah.” Ucapku. “Wah, kangen banget iku
pasti Ibune sampean.”
22 Jam. Dan takbir
berkumandang sesampainya aku di kota kelahiranku. Aku ingin menelepon Ibuku,
untuk memberi kabar jika aku pulang lebaran tahun ini. Agar bisa salat
bersama-sama. Tapi lagi-lagi egoku yang bertindak. Jadi, aku putuskan untuk
memberi kejutan saja. Dan sesampainya di rumah nanti, akan ku peluk erat
tubuhnya.
Dari stasiun, aku
menaiki sebuah angkot untuk mengantarkan aku ke rumah Ibuku. Sesampainya di
sana, aku mengetuk pintu itu sambil berucap “Assalammualaikum.”
Terdengar seorang wanita yang berkata “Walaikumsalam,
sebentar.” Pasti itu Ibuku yang akan membukakan pintu. Iringan kaki berjalan
membuatku ingin langsung saja membuka pintu itu dan langsung memeluknya. Saat
pintu itu terbuka, dan aku ingin memeluknya. Ternyata bukan Ibuku. Dia Adikku.
Langsung ku bertanya “Di mana Ibu berada?” adikku menunjuk sebuah kamar yang
tertutup rapat. Aku membuka pintu itu. Terlihat sebuah wanita rentan yang
kurus, terbaring lemah di kasur yang aku kirimkan 3 tahun lalu. Pucat, ku lihat
raut wajahnya. Terlihat keriput dan sangat tua. Aku membangunkannya, untuk
melihat sebuah senyuman. Dan saat matanya terbuka.
Aku berkata: Aku
pulang Bu.
Komentar
Posting Komentar
Silakan berkomentar :)