Pangeran di Pasar Ramadhan
Diikutsertakan dalam lomba menulis cerpen Unexpected Ramadhan 2015
Bulan
Ramadhan, bulan penuh pengampunan yang telah dinanti-nanti umat islam, telah
mengulurkan tangannya, menyambut diri yang telah lama merindu. Begitupun
denganku, aku sangat antusias menyambut bulan yang penuh berkah ini. Aku mulai
mengira-ngira cerita seperti apa yang akan dihadirkan iklan-iklan sirup selama
bulan puasa ini? Aku mulai sibuk mencari resep-resep kue terbaru, dan tentunya
aku mulai sibuk menyiapkan diri menyambut bulan yang suci ini.

“Citra, sini
bantu Ibu masak, jangan nonton televisi terus-terusan” Suara Ibu mengagetkanku.
“Iya Bu”
Jawabku singkat, beranjak malas dari kursi panjang.
“Kamu ini
ya, sudah jadi sarjana masih saja malas-malasan” Ibu menatap wajahku. “Kalau
memang nggak mau kerja, nikah saja”
Aku terdiam.
Berdiri di sebelah ibu yang sedang mengupas kentang.
“Jadi kapan
kamu kenalin calonmu ke Ibu?” Ibu memandangku, tangannya berhenti mengupas
kentang.
“Eh, calon
apa Bu?” Aku tergugup, mengambil wortel dari plastik putih.
“Calon suami
lah.” Ibu melanjutkan mengupas kentang. “Makanya dari dulu itu cari pacar,
supaya nggak kebingungan kalau mau nikah”
“Tapi
pacaran juga belum tentu berlanjut ke pernikahan Bu. Nanti yang ada Citra
maksiat terus” Jawabku sambil menatap wajah ibu. Serius.
“Ya sudah,
Ibu minta maaf.” Ibu memandangku dalam. Ibu tahu persis aku tidak pernah
menjalani hubungan tidak halal bernama pacaran, tidak akan pernah. “Kalau kamu
mau, ibu bisa carikan calonnya.” Ibu mencuci kentang yang sudah dikupasnya.
“Jangan Bu,
Citra belum mau menikah sekarang.” Jawabku berbohong. Aku memang tidak mau
menikah sekarang, aku mau menikah secepatnya, kalau bisa setelah lebaran.
“Citra mandi dulu ya Bu” Aku meletakkan wortel kembali ke plastik.
“Citraaaa,
ini masak sup-nya belum selesai.” Ibu meneriakiku yang berjalan cepat menuju
kamar.
***
“Citra, Ibu
tunggu di depan ya Nak.” Sahut Ibu dari beranda rumah.
“Iya Bu.”
Aku bergegas mengambil mukenah dan berjalan cepat keluar rumah.
Malam ini
akan dilaksanakan tarawih pertama. Masjid akan sangat penuh, semua orang
berlomba mengisi shaf pertama di salat tarawih pertama ini, tapi biasanya akan
semakin mengurang seiring berjalannya tarawih-tarawih selanjutnya. Hanya yang
istiqamahlah yang akan terus berlomba mengisi shaf terdepan.
“Astaghfirullah.”
Ibu refleks menggenggam tangan Ayah. Kaget mendengar suara petasan.
“Kenapa Bu?”
Ayah memandang wajah ketakutan Ibu. Tertawa tertahan.
“Aduh, Ibu
sampai kaget Yah. Anak-anak ini main petasan buat jantungan saja.” Ibu melihat
ke arah anak-anak yang berlarian, bermain petasan.
“Biarkan
saja Bu, sudah jadi tradisi anak-anak. Lagipula ini menambah cerianya bulan
ramadhan kan?” Ayah tersenyum menatap Ibu.
“Tapi beli
petasan kan buang-buang uang Yah.” Ibu protes.
“Bu... Bu,
seperti tidak pernah muda saja.” Ayah mengusap kerudung Ibu lembut.
Aku hanya
tersenyum melihat kedua orangtuaku, mereka tetap saja romantis setelah
bertahun-tahun menikah. “Ah ya Allah, kirimkan jodohku secepatnya.” Ucapku
lirih.
***
Udara dingin
membelai lembut. Masjid di dekat rumahku sudah sibuk membangunkan warga sekitar
untuk sahur. Masih satu jam menuju adzan subuh. Aku sudah menyiapkan semua menu
sahur hari ini, ada soto ayam, perkedel kentang, tahu dan tempe goreng serta
kerupuk.
“Besok jadi
jualan di pasar ramadhan Bu?” Ayah menatap ibu yang duduk disebelahnya.
“Inshaa
Allah Yah, nanti Citra yang menjualkannya” jawab Ibu
“Oh, Citra
bantu Ibu jualan di pasar ya” Ayah menatapku. “Semoga ketemu jodohnya di pasar
ya” canda Ayah.
Aku
pura-pura tidak menghiraukan candaan Ayah. Tapi serentak batinku berteriak
“AAMIIN!”
***
Pasar
ramadhan, selalu saja ramai, selalu saja menyenangkan. Warna-warni menggoda
aneka jajanan untuk berbuka, cokelatnya warna buah kurma yang menggairahkan,
aroma harum lauk dan sayur, segarnya es kelapa muda, sop buah serta manisnya
kolak pisang yang hangat.
“Ahhh Ibu,
teganya membiarkanku berjualan sendirian” gumamku sambil melihat kotak-kotak
buah kurma yang tersusun rapi di hadapanku.
“Mbak,
kurmanya satu kotak yang kecil” sahut laki-laki tinggi berkacamata, membuyarkan
lamunanku. Aku langsung mengambil kotak kurma dan memasukannya ke plastik
putih.
“Ini Mas,
terima kasih” ucapku sambil mengulurkan plastik dan menerima uang lima ribuan.
Laki-laki
itu, aku melihat punggungnya berlalu, suaranya lembut mencairkan hati, badan
tinggi dengan baju koko dan celana cingkrang serta kacamata yang menambah
wibawanya. “Astaghfirullah, ya Allah maafkan Citra.” Aku mengusap-usap mukaku.
Bagaimana bisa aku berpikiran seperti ini. “Bodoh.. bodoh... bisa saja dia
telah menikah. Citraaa tundukkan pandanganmu.” Aku berkata lirih, memarahi diri
sendiri.
***
“Kurmanya
laku Nak?” tanya Ibu sambil menukar-nukar siaran televisi.
“Iya
alhamdulillah Bu.” Jawabku singkat, memperhatikan iklan sirup di televisi.
“Jodohnya
sudah ketemu Nak?” Canda Ayah sambil tertawa kecil.
Aku menatap
wajah ayah, sebal. “Belum Yah. Tapi Citra bertemu pangeran.” Jawabku sambil
tersenyum lebar.
“Siapa
namanya? Tinggal dimana? Apa pekerjaannya? Nanti Ibu dan Ayah temui orang
tuanya.” Ibu langsung meluncurkan rentetan pertanyaan tanpa jeda.
“Ibu, mana
mungkin anakmu berani menanyakan hal seperti itu.” Ayah menatap ibu, tertawa .
“Ahhh Ibu.
Citra ke kamar ya” Aku berdiri malas, berjalan gontai menuju kamar.
“Kita belum
selesai membicarakan pangeranmu Cit.” Ibu tertawa, memanggilku.
“Sudahlah,
Citra ingin istirahat, ingin bertemu pangerannya di mimpi.” Ayah ikut
mengejekku.
Aku
mempercepat langkahku, berpura tak memedulikan candaan Ayah dan Ibu, tapi
hatiku serentak berteriak “AAMIIN, ya Allah pertemukan kami di dalam mimpiku
nanti.”
***
Hari-hariku
kini penuh oleh pengharapan, semoga laki-laki berkacamata itu kembali membeli
kurmaku. Entah mengapa pertemuan saat hari pertama bulan ramadhan itu sangat
mengesankan. Tanpa tahu namanya, Aku diam-diam mengadu pada Allah, memohon
pertemuan-pertemuan dan kebersamaan yang indah dan halal bersamanya.
***
Hatiku
pedih, serasa teriris pisau tajam lalu disiram perasan jeruk nipis. Sore tadi,
laki-laki berkacamata itu datang lagi membeli kurma, dengan seorang gadis
bercadar. “Dik, mau kurma yang mana?” kata-katanya kepada perempuan bercadar
itu masih terngiang-ngiang di telingaku. Memang tak ku pungkiri, mereka
terlihat cocok, laki-laki berkacamata dan perempuan bercadar itu. “Ah
sudahlah.” Gumamku sambil menghapus air mata. “Bisa jadi itu adiknya.” Lirihku
berbaik sangka.
***
Tak terasa
sekarang sudah pertengahan bulan ramadhan. Sedih bukan? Bulan yang penuh berkah
ini akan meninggalkan kita. Tanpa tahu apakah tahun depan dapat bertemu lagi.
“Mbak, kurma
seperti biasa ya.” Suara itu membuyarkan lamunanku, aku menatap sumber suara
itu. Laki-laki berkacamata. Jantungku berdegup tak menentu, kencang.
“Eh iya
Mas.” Jawabku sambil memasukkan kotak kecil kurma kedalam plastik. “Istrinya
yang kemarin nggak diajak mas?” Tanyaku tanpa berpikir.
“Istri?”
tanyanya sambil tertawa kecil. “perempuan yang kemarin itu adik saya Mbak.”
Jawabnya sambil tersenyum.
“Iya?”
tanyaku tak percaya. “Maaf ya Mas.”
Sahutku malu sambil menyerahkan plastik.
“Tidak
apa-apa mbak.” Jawabnya sambil tertawa kecil. “Mbak sudah menikah?” tanyanya
sambil menyerahkan uang lima ribuan.
“Eh?
Be..belum Mas.” Jawabku gugup, tak menyangka dia akan menanyakan hal seperti
itu.
***
Empat hari
lagi menuju hari raya idul fitri, hari kemenangan umat setelah 30 hari menahan
lapar, dahaga serta hawa nafsunya. Tapi hari ini aku hanya terbaring lemah di
kasur, menahan perut yang sakit karena datang bulan. Menyedihkan.
“Citra,
bagaimana keadaanmu Nak?” Ibu masuk ke kamarku sambil membawakan segelas air
hangat.
“Masih sakit
Bu.” Jawabku singkat.
“Diluar ada
Eko.” Ucap ibu sambil tersenyum. “dia datang bersama perempuan, mungkin adiknya
ya.” Tebak Ibu.
“Eko siapa
Bu?” Aku terkejut.
“Itu,
laki-laki berkacamata yang sering beli kurma kita. Laki-laki yang sering kamu
ceritakan, pangeran itu loh.” Jawab Ibu menggodaku.
Aku terdiam,
hal apa yang membuat laki-laki itu datang ke rumah ku. Bagaimana pula dia
sampai tahu rumahku. Apa jangan...jangan... Aku mulai berimajinasi.
Seperti tahu
apa yang aku pikirkan, Ibu berkata, “Kemarin waktu dia beli kurma, dia nanyain
kamu, nanya alamat rumah kita, ya Ibu kasih tahu. Sepertinya dia datang mau
melamar.” Ibu tersenyum menggenggam tanganku.
Wajahku memerah, jantungku memompa darah
dua kali lebih cepat. Sebisa mungkin aku mencuri dengar apa yang dibicarakan di
ruang tamu.
“Ada perlu
apa ya nak Eko?” suara Ayah terdengar jelas di telingaku.
“Maksud
kedatangan saya kesini ingin melamar putri Bapak, Citra.” Suaranya lembut,
tenang dan terdengar serius.
“Alhamdulillah.”
Suara bapak terdengar halus. “Kamu datang kesini hanya bersama adikmu Nak?”
“Maaf pak,
ini istri saya.”
“Istri?”
suara Bapak meninggi. “Jadi Kamu sudah mempunyai istri?”
“Iya Pak,
dan istri saya setuju kalau saya menikahi anak bapak.” Suara Eko terdengar
tenang.
Hatiku
seketika bergemuruh, rasanya sakit ini semakin menjadi-jadi. Laki-laki
berkacamata itu telah mempunyai istri, tapi dia berani datang ke orang tua ku.
“Pangeran
itu sudah mempunyai permaisuri, Bu. Lalu dia datang untuk memintaku menjadi
selirnya.” Aku tertawa tertahan, memegangi tangan ibuku, tak menghiraukan
percakapan di ruang tamu, tak menyadari bulir bulir air mata sudah jatuh
membasahi pipiku.
***
Keren
BalasHapusKeren
BalasHapusmakasiih pak ketuuu
HapusSubhanallah sekali. Tapi kalu yg nulis kayak gitu gimana ya ? Naudzubillah. Semangat Buat qaqa yang nulis.
BalasHapuswkwk. jangan sampe mas. makasiih hihi
BalasHapus